PEMBELAJARAN KOMPETENSI SOSIAL DAN EMOSIONAL (KSE) -- KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 2.2

Pembelajaran Sosial Emosional adalah proses belajar seumur hidup untuk lebih memahami diri kita sendiri, terhubung dengan orang lain, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan dan mendukung komunitas. Pembelajaran sosial dan emosional akan lebih berhasil bila dilaksanakan secara kolaboratif oleh semua pemangku kepentingan sekolah.


Tujuan Pembelajaran Kompetensi Sosial Emosional (KSE) adalah:

  1. Memberikan pemahaman, penghayatan dan kemampuan untuk mengelola emosi. 
  2. Menetapkan dan mencapai tujuan positif. 
  3. Merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain. 
  4. Membangun dan mempertahankan hubungan yang positif. 
  5. Membuat keputusan yang bertanggung jawab.

Ruang Lingkup Pembelajaran Kompetensi Sosial Emosional (KSE) antara lain:

  • Rutin artinya diluar waktu belajar akademik, misalnya : kegiatan ekstrakurikuler, perayaan hari besar, pelatihan dsb. 
  • Terintegrasi dalam pembelajaran artinya membuat diskusi kasus atau kerja kelompok dalam sebuah topik mata pelajaran. 
  • Protokol/ Budaya Sekolah artinya aturan sekolah yang sudah menjadi kesepakatan bersama dan diterapkan secara mandiri oleh murid atau sebagai kebijakan sekolah untuk merespon situasi pada kejadian tertentu.

Dampak dari keberhasilan dalam penerapan KSE (Kompetensi Sosial Emosional) tersebut tidak hanya pada kesuksesan diri seseorang dalam akademik yang lebih baik namun juga memberikan fondasi yang kuat bagi seseorang untuk dapat sukses dalam berbagai area kehidupan mereka di luar akademik. Pembelajaran sosial emosional dapat dilatih dan ditumbuhkan di luar pembelajaran, terintegrasi dalam pembelajaran, menjadi budaya atau tata tertib sekolah dengan berbagai kompetensi dan teknik, sehingga dapat menciptakan Well Being Ekosistem Pendidikan yang nyaman dan sehat.

Keterkaitan materi pembelajaran sosial emosional dengan modul sebelumnya

Melalui pembelajaran Kompetensi Sosial Emosional (KSE), salah satu peran guru sebagai pendidik adalah menciptakan Ekosistem Pendidikan di sekolah sehingga kondisi menjadi aman, nyaman dan menyenangkan bagi murid. Hal ini sejalan dengan Filosofi Ki Hadjar Dewantara bahwa sekolah merupakan taman bagi murid, taman untuk mengembangkan bakat dan minat murid sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zamannya.

Seorang guru penggerak yang memiliki nilai kemandirian, reflektif, kolaboratif, inovatif, serta berpihak pada murid harus menggunakan segala kekuatan dan potensi yang ada untuk membangun budaya positif di sekolah. Budaya positif yang dikembangkan hendaknya dapat mendorong pemenuhan kebutuhan belajar murid sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Seorang guru harus mampu menggunakan segala daya dan potensi yang yang dimiliki untuk mengembangkan budaya positif di sekolah. Budaya positif yang dapat dilakukan di sekolah untuk menerapkan latihan Berkesadaran Penuh (mindfulness) sambil mengembangkan kompetensi Kesadaran Diri (Self Awareness) adalah dengan mengenali emosi. Hal ini dapat membantu guru dan murid merespon terhadap kondisinya sendiri.

Jika pembelajaran Kompetensi Sosial Emosional (KSE) dengan pendekatan berkesadaran penuh (mindfulness) menjadi budaya positif di sekolah maka pembelajaran berdiferensiasi lebih mudah diterapkan. Hal ini tentunya akan membahagiakan murid karena pembelajaran yang disajikan sesuai dengan kebutuhan belajar, baik melalui pendekatan kesiapan belajar, minat, dan profil murid.

Pendekatan kesadaran penuh (mindfulness) menggunakan teknik STOP dapat dijadikan sebagai metode yang dapat menciptakan ekosistem pendidikan yang baik. Murid yang memiliki Well Being yang optimal memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk mencapai prestasi akademik yang tinggi, kesehatan fisik, dan mental yang lebih baik, memiliki ketangguhan dalam menghadapi stres dan terlibat aktif dalam perilaku sosial yang lebih bertanggung jawab. Dengan demikian, pembelajaran diferensiasi melalui pembelajaran Kompetensi Sosial dan Emosional (KSE) dapat membentuk murid yang memiliki profil pelajar Pancasila.


Share:

ARTIKEL AKSI NYATA MODUL 1.4 : MENANAMKAN BUDAYA POSITIF DI SEKOLAH

Budaya Positif di sekolah sangat penting untuk membentuk murid  yang memiliki karakter kuat demi terwujudnya profil pelajar pancasila yang dicetuskan sebagai pedoman untuk pendidikan di Indonesia. Untuk membangun budaya positif, sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif, aman, dan nyaman agar peserta didik mampu berfikir, bertindak, dan mencipta secara merdeka, mandiri, dan bertanggungjawab.

Fakta yang terjadi bahwa kesadaran akan penerapan disiplin diri murid belum berdasarkan motivasi internal, posisi kontrol gurupun belum sampai pada tahap manajer melainkan sebagai penghukum dan pembuat murid merasa bersalah Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan murid yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi internal. Murid yang memiliki disiplin diri berarti mampu bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya.

Dalam membangun budaya positif, kita meninjau lebih mendalam tentang strategi yang menumbuhkan lingkungan yang positif di sekolah untuk mendukung pembelajan yang bermakna. Dengan cara melakukan berbagai upaya dan refleksi serta menerapkan tawaran strategi dalam praktik disiplin, kesungguhan mengontrol murid, menjalankan dalam menerapkan budaya positif. adanya konsep budaya positif akan sangat bermanfaat untuk diterapkan dalam lembaga pendidikan dalam rangka mewujudkan merdeka belajar. Budaya positif meliputi 6 hal yaitu perubahan paradigma stimulus respon, konsep disiplin positif, keyakinan kelas, pemenuhan lima kebutuhan dasar manusia, lima posisi control, dan segitiga restitusi.

Penanaman Konsep untuk Mengubah Paradigma

Budaya positif akan menghasilkan pembelajaran yang bermakna apabila setiap komponen konsep dilaksanakan dan disesuaikan dengan kondisi, karena pendidik akan memperhatikan beberapa hal berikut terkait dengan konsep budaya positif yaitu:

1. Perubahan Paradigma Stimulus Respon

Untuk membangun budaya yang positif, sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif, aman, dan nyaman agar murid-murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri, dan bertanggung jawab.

2. Konsep Disiplin Positif

Disiplin positif berarti disiplin yang bermula dari dalam diri, bukan karena takut dihukum atau mengharap imbalan. Seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal.

3. Keyakinan Kelas

Keyakinan kelas dibentuk berisi peraturan-peraturan yang bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan pada umumnya, yang lebih rinci dan konkrit. Rincian keyakinan kelas dapat dilakukan dengan prinsip berikut: 

  • Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal, 
  • Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif,   
  • Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas,
  • Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan,
  • Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas dengan berpendapat. dan bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.

4. Pemenuhan Lima Kebutuhan Dasar Manusia

Setiap tindakan atau perilaku yang dilakukan di dalam kelas dapat menentukan terciptanya sebuah lingkungan positif. Perilaku warga kelas tersebut menjadi sebuah kebiasaan, yang akhirnya membentuk sebuah budaya positif. Untuk terbentuknya budaya positif pertama-tama perlu diciptakan dan disepakati keyakinan-keyakinan atau prinsip-prinsip dasar bersama di antara para warga kelas. Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), cinta dan kasih sayang (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan kekuasaan (power). Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka.

5. Lima Posisi Contol

Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Orang Merasa Bersalah, Teman, Monitor (Pemantau) dan Manajer.

6. Segitiga Restitusi

Segitiga restitusi dapat menstabilkan Identitas (Kita semua akan melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan),  Validasi Tindakan yang Salah (Semua perilaku memiliki alasan) Menanyakan Keyakinan (Kita semua memiliki motivasi internal).

Kolaborasi

Disiplin diri bukan lagi diartikan hukuman, akan tetapi lebih pada proses belajar, Melihat perilaku perilaku peserta didik dalam rangka memenuhi kebutuhan dasarnya, Menghargai Setiap perilaku peserta didik  memiliki tujuan, mewujudkan merdeka belajar  dengan menyusun keyakinan kelas dibentuk bersama, disepakati bersama dan untuk ditaati bersama dan lebih memahami bahwa Sumber Alasan perilaku manusia adalah untuk menghindari ketidak nyamanan, untuk mendapat imbalan/ penghargaan dan menjadi orang yang diinginkan sesuai nilai yang mereka percaya.

Konsep budaya positif harusnya benar-benar tertanam kepada seluruh Pendidik dan Tenaga Pendidikan (PTK) yang ada di sekolah, sehingga benar-benar diterapkan mulai dari lingkup terkecil yakni kelas yang nanti dampaknya bisa membentuk budaya positif di sekolah. Mari kuatkan diri, mari tergerak dan bergerak bersama agar budaya positif di sekolah benar-benar terwujud.

Share:

JURNAL REFLEKSI DWI MINGGUAN MODUL 2.1 : PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN MURID

Tiap akhir modul, Calon Guru Penggerak diharuskan membuat Jurnal Refleksi, Jurnal Refleksi Dwi Mingguan ini dibuat sebagai bahan evaluasi dan refleksi CGP. Jurnal Refleksi Dwi Mingguan Modul 2.1 membahas tentang pembelajaran berdiferensiasi. Kali ini model refleksi yang saya gunakan adalah model 4F (Facts, Feelings, Findings, Future)


1. Facts (Peristiwa)

Sebelum memasuki modul 2.1, saya diharuskan mengerjakan tes awal modul 2, setelah itu dilanjutkan untuk mengeksplore LMS dengan alur MERDEKA (Mulai Dari Diri, Eksplorasi Konsep, Ruang Kolaborasi, Elaborasi, Koneksi Antar Materi dan Aksi Nyata). 

Mulai dari diri diawali dengan membuat refleksi individu dengan pertanyaan pemantik yang sudah ada di LMS. Saya menjawab pertanyaan pemantik dengan mendeskripsikan apa yang saya ketahui sebagai bekal awal dalam mengeksplore modul 2.1. Selanjutnya pada alur eksplorasi konsep saya harus mempelajari satu per satu teori terkait dengan kebutuhan belajar murid untuk pembelajaran berdifiensiasi. Eksplorasi konsep dibuka dengan kutipan kata mutiara dari KHD “Serupa seperti para pengukir yang memiliki pengetahuan mendalam tentang keadaan kayu, jenis-jenisnya, keindahan ukiran, dan cara-cara mengukirnya. Seperti itulah seorang guru seharusnya memiliki pengetahuan mendalam tentang seni mendidik, Bedanya, Guru mengukir manusia yang memiliki hidup lahir dan batin.” (Ki Hajar Dewantara). Selain memelajari konsep yang ada, saya juga melakukan diskusi dalam LMS dengan kawan-kawan peserta PGP hebat lainnya dalam bimbingan fasilitator Ibu Dewi Mulyani, M.Pd dan Pengajar Praktik Bapak Farid Susanto, S.Pd. Pengetahuan saya tentang pembelajaran berdiferensiasi makin mendalam saat masuk alur Eksplorasi konsep ini. Dilanjutkan dengan melakukan diskusi mendalam dan menganalisa kasus yang sudah disediakan dalam alur ruang kolaborasi. Diskusi berjalan dengan nyaman karena ibu Fasilitator membagi kelompok dengan sangat epic, kelompok dibagi oleh Ibu Fasilitator sesuai dengan jenjang dan analisis kasus yang diberikan juga sesuai dengan jenjang mengajar, sehingga saat membahas kasus tersebut saya terasa mengalami sendiri bukan kasus orang lain. Dalam sesi presentasipun berjalan dengan luar biasa, masukan dari rekan-rekan yang lain membuka cakrawala baru saya bahwa sejatinya pembelajaran di SMK tidak begitu-begitu saja, tetapi apa yang dilakukan di SD, SMP bahkan TK pun bisa diimplementasikan untuk pembelajaran SMK. Pemahaman saya lebih mendalam lagi ketika memasuki alur eksplorasi konsep, Elaborasi dan Koneksi antar materi. 

2. Feelings (Perasaan)

Saya sangat bahagia dan antusias serta lebih bersemangat dalam mengikuti alur MERDEKA pada modul 2. Pada modul 2.1 saya mulai paham bahwa murid harus difasilitasi sesuai dengan kebutuhan belajarnya, pada modul ini juga saya mulai paham bagaimana pembelajaran berdiferensiasi, bagaimana seorang guru menyusun RPP berdiferensiasi. Pengetahuan baru yang saya peroleh dari modul 2.1 ini memompa semangat saya untuk jadi lebih baik dalam mengimplementasikan pembelajaran yang berpihak pada murid.

3. Findings (Pembelajaran)

Pengetahuan dan pengalaman baru yang saya terima sebagai calon guru penggerak pemimpin pembelajaran. Salah satu aplikasi nyata da;am pembelajaran yang berpihak pada murid adalah melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan penilaian (Evaluasi). Pembelajaran berdiferensiasi merupakan pembelajaran yang paling tepat dalam mengakomodir kebutuhan murid yang berbeda-beda, sehingga murid bisa terfasilitasi sesuai dengan kodrat alam dan zamannya sebagaimana amanat filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara. 

4. Future (Penerapan)

Setelah mempelajari modul 2.1, saya berusaha untuk lebih memahami kebutuhan belajar murid untuk memilih aktivitas belajar sesuai dengan gaya belajar yang dimiliki, sehingga pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan murid lebih bisa menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Selain itu, Saya coba untuk sharing kepada rekan sejawat tentang pembelajaran berdiferensiasi dengan harapan kami semua menjadi lebih memperhatikan minat dan profil belajar murid dalam melaksanakan aktivitas pembelajaran.


Share:

MEMENUHI KEBUTUHAN BELAJAR MURID MELALUI PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI

Modul 2.1.a.8 Koneksi Antar Materi

Pembelajaran Berdiferensiasi merupakan serangkaian keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid.

Langkah-langkah pembelajaran berdiferensiasi adalah sebagai berikut:

Merumuskan tujuan pembelajaran

Memetakan kebutuhan belajar berdasarkan kesiapan belajar, minat, dan profil murid.

Menciptakan suasana belajar yang kolaboratif dan positif

Melakukan penilaian yang berkelanjutan / on going assessment

Melakukan diferensiasi pembelajaran berdasarkan konten, produk, dan proses

Pembelajaran berdiferensiasi dapat memenuhi kebutuhan belajar murid dan membantu mencapai hasil belajar yang optimal dikarenakan pembelajaran berdiferensiasi berpihak pada murid, menciptakan lingkungan belajar yang positif, kolaboratif dan saling menghargai, serta adanya strategi pembelajaran didasari oleh kebutuhan murid meliputi kesiapan belajar, minat, dan profil belajar murid. 

Dalam melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi ada tiga strategi yang harus dilakukan, yaitu:

1. Diferensiasi Konten

Adalah mendiferensiasikan materi pembelajaran kepada murid berdasarkan kebutuhan, dilihat dari kesiapan belajar murid secara konkret – abstrak, minat belajar murid dengan mempersiapkan topik atau materi sesuai minat siswa, profil belajar siswa sesuai gaya belajar, audio, visual, atau kinestetik.

2. Diferensiasi Proses

Adalah usaha untuk membantu murid memahami materi pembelajaran dengan memberi beberapa kegiatan atau scaffolding sesuai dengan kebutuhan murid.

3. Diferensiasi Produk

Produk berupa tagihan atau hasil yang diharapkan dari murid setelah proses pembelajaran, baik berupa hasil tes, presentasi atau diskusi, pertunjukkan, pidato, diagram dan lainnya yang mencerminkan pemahaman murid dari tujuan yang diharapkan dalam pembelajaran.

Dalam pembelajaran berdiferensiasi, seorang guru terlebih dahulu harus mengidentifikasi kebutuhan murid yaitu dari kesiapan belajar murid, minat belajar murid dan profil belajar murid. 

Kesiapan belajar murid atau readiness adalah kapasitas untuk mempelajari materi baru diibaratkan seperti “The Equalizer” dari yang bersifat mendasar menuju bersifat transformatif, konkret ke abstrak, sederhana ke kompleks, terstruktur ke terbuka (open-ended), tergantung ke mandiri, dan lambat menjadi cepat.

Sedangkan dalam minat belajar maka terdapat “Cocokkan” yaitu mencari kecocokan antara minat murid dengan tujuan pembelajaran, “Koneksikan” berarti menunjukkan koneksi antar materi pembelajaran, “Jembatani” yaitu menjembatani pengetahuan awal dengan pengetahuan baru, dan “Memotivasi” yang memungkinkan tumbuhnya motivasi murid untuk belajar.

Dalam profil belajar murid maka perlu mengidentifikasi lingkungan belajar, misalnya terkait dengan suhu ruangan, tingkat kebisingan, jumlah cahaya, kemudian pengaruh budaya dari santai menjadi terstruktur, pendiam ke ekspresif, personal ke impersonal, gaya belajar murid juga dengan mengidentifikasi yaitu bisa visual (belajar dengan melihat), auditori (belajar dengan mendengarkan), kinestetik ( belajar sambil melakukan), kecerdasan majemuk (multiple intelegences), visual ke spasial, musical bodily kinestetik, logic matematika.

Kaitan antar materi dengan modul sebelumnya yaitu

Pembelajaran berdiferensiasai dapat mewujudkan Merdeka Belajar sesuai dengan filosofi pendidikan KHD. Berdasarkan pemikiran KHD pendidikan adalah menuntun anak sesuai kodrat alam dan zaman dengan berpihak pada anak sesuai perkembangan minat, bakat dan potensi anak. Hal ini berkaitan erat dengan pembelajaran berdiferensiasi yang bertujuan memberikan pembelajaran kepada anak dengan cara memetakan kebutuhan murid sesuai kesiapan belajar, minat belajar, dan profil belajar anak.

Merdeka belajar dapat terwujud apabila guru penggerak memiliki nilai dan menjalankan peran sebagai guru penggerak dalam melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi. Nilai guru penggerak meliputi : mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, berpihak pada murid. Dan peran guru penggerak meliputi menjadi pemimpin pembelajaran, menggerakkan komunitas praktisi, menjadi coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi antar guru, dan mewujudkan kepemimpinan murid.

Untuk menciptakan pembelajaran berdiferensiasi guru penggerak harus mampu berkolaborasi dan mengidentifikasi kekuatan yang dimiliki oleh sekolah sehingga mampu mendukung terwujudnya visi dan mendukung perkembangan murid berdasarkan pemetaan kebutuhan murid.

Budaya positif merupakan perwujudan dari nilai-nilai atau keyakinan universal yang diterapkan di sekolah. Lingkungan belajar yang mendukung diferensiasi dibangun dengan menerapkan budaya positif, diantaranya:

Komunitas belajar setiap orang di dalam kelas akan menyambut dan merasa disambut oleh orang lain.

Setiap orang di dalam kelas saling menghargai

Murid merasa aman, menciptakan murid berani dalam mengemukakan pendapat

Ada harapan bagi pertumbuhan yang ditunjukkan murid. Pertumbuhan setiap murid berbeda-beda walaupun hanya sedikit guru tetap mengapresiasinya.

Guru mengajak murid untuk mencapai kesuksesan, pengalaman belajar mendorong murid lebih cepat, sedikit melampaui apa yang telah dikuasainya, guru memberikan dukungan sehingga murid tidak merasa frustasi tetapi mencapai kesuksesan.

Adanya bentuk keadilan dalam bentuk nyata. Semua murid berhak mendapatkan perlakuan yang sama di dalam kelas.

Guru berkolaborasi dengan murid untuk mencapai pertumbuhan dan kesuksesan bersama, adanya tanggung jawab masing-masing agar pembentukan dan tercipta kelas yang efektif. Guru sebagai pemimpin kelas memiliki peran sangat penting dalam mengembangkan lingkungan belajar yang positif.


Share:

JURNAL DWI MINGGUAN : BUDAYA HEBAT UNTUK SEKOLAH BERMARTABAT

Jurnal Refleksi Dwi mingguan Modul 1.4 akan saya uraikan kembali menggunakan model 4F (Facts, Feelings, Findings, and Future)  



Fact (Peristiwa)

Modul 1.4 tentang Budaya Positif dimulai pada tanggal 12 Agustus 2022. Seperti biasanya, proses pembelajaran menggunakan alur MERDEKA (Mulai dari diri, Eksplorasi konsep, Ruang kolaborasi, Demonstrasi kontekstual, Koneksi antar materi, dan Aksi nyata). Pada alur mulai dari diri saya menjawab beberapa pertanyaan pemantik di LMS, kemudian dilanjut dengan alur eksplorasi konsep. Banyak hal baru yang saya peroleh disini, mulai dari disiplin positif, nilai-nilai kebajikan, keyakinan kelas, kebutuhan dasar, posisi control dan segitiga restitusi. Pada alur selanjutnya yaitu ruang kolaborasikami berdiskusi dalam kelompok untuk menganalisis beberapa kasus yang sudah disediakan. Setelah mendapatkan penguatan dari fasilitator Ibu Dewi Mulyani, M.Pd saya memasuki alur demontrasi kontekstual dengan tugas mempraktikkan pelaksanaan segitiga restitusi. Pemahaman saya makin mendalam ketika dalam alur elaborasi intruktur telah membahas tuntas keterkaitan materi yang ada. Selanjutnya, saya harus merancang koneksi antar materi dari modul 1.1 tentang Filosofi KHD, modul 1.2 tentang Nilai dan Peran Guru Penggerak, modul 1.3 tentang Visi guru penggerak dan modul terakhir 1.4 tentang Budaya positif. Tugas selanjutnya adalah merancang aksi nyata dengan membuat seminar tentang implementasi budaya positif dengan harapan apa yang saya dapatkan pada modul 1 ini bias tersampaiakn pada yang lain dan menciptakan lingkungan yang positif di sekolah.

Feelings (Perasaan)

Selama mempelajari dan menerapkan modul 1.4 tentang budaya positif perasaan saya sangat senang dan merasa beruntung mendapatkan kesempatan untuk belajar melalui Pendidikan Guru Penggerak (PGP) Angkatan 5. Selain itu saya juga merasa sangat tertantang untuk bisa mengimplementasikan apa yang saya pelajari pada aksi nyata baik di kelas maupun di lingkungan sekolah sehingga budaya positif benar-benar bisa tercipta dan bermanfaat untuk diri sendiri, murid, rekan guru dan lingkungan sekolah.

Findings (Pembelajaran)

Setelah melaksanakan serangkaian kegiatan pada modul 1.4 melalui alur merdeka saya menyadari betapa pentingnya budaya positif untuk diterapkan di sekolah. Penerapan budaya positif harus dilaksanakan secara konsisten melalui kolaborasi dengan seluruh pihak sekolah. Pada modul ini saya juga belajar tentang kebutuhan dasar yang harus dipenuhi manusia, jika tidak terpenuhi akan menimbulkan sebuah permasalahan. Sebagai seorang pendidik saya juga lebih memahami bahwa ada 5 posisi kontrol yaitu posisi penghukum, pembuat rasa bersalah, teman, pemantau dan manager. Posisi yang paling ideal adalah posisi manager, oleh karena itu saya harus belajar untuk menerapkannya. Dalam menyelesaikan sebuah permasalahan ternyata ada langkah yang baik, yaitu menggunakan segitiga restitusi. Dalam tahapan segitiga restitusi ada 3 langkah yaitu menstabilkan identitas, memvalidasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan. Restitusi dilakukan untuk menciptakan kondisi pada murid untuk memperbaiki kesalahan mereka sehingga mereka bisa kembali kepada kelompoknya dengan karakter dan nilai-nilai kebajikan yang dikuatkan.

Future (Penerapan)

Setelah mempelajari modul 1.4 tentang budaya positif saya akan lebih tenang dan sabar dalam menghadapi sebuah persoalan. Saya akan memposisikan diri pada posisi kontrol manager secara konsisten. Saya juga akan membuat keyakinan kelas untuk menguatkan nilai-nilai kebajikan seperti beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, berkebhinekaan global, mandiri, gotong royong, kreatif dan bernalar kritis. Untuk menerapkan budaya positif saya juga akan senantiasa berkomunikasi dan berkolaborasi dengan seluruh pihak sekolah dan pihak terkait seperti wali murid serta komite sekolah. 


Share:

Blogroll

Popular Post

Labels

Followers

Blog Stats

Label List


AD (728x90)

Label Cloud

Popular Posts

Labels Cloud

Recent Posts