JURNAL DWI MINGGUAN MODUL 2.3 : COACHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK

Jurnal Dwi Mingguan untuk Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik kali ini saya menggunakan model 4C (Connection, Challenge, Concept, dan Change). Berikut uraian dari Model 4C pada Jurnal Dwi Mingguan Modul 2.3


Connection (Keterkaitan materi yang didapat dengan peran saya sebagai CGP)

Materi yang benar-benar baru dan luar biasa bagi guru junior seperti saya. Saya pikir, supervisi akademik hanya akan saya peroleh ketika suatu saat saya menjadi seorang pemimpin dalam sebuah lembaga pendidikan. Saya pikir supervisi akademik adalah sebuah kegiatan penilaian yang terlihat sangat menakutkan bagi guru yang akan disupervisi, dan supervisor adalah seorang tim penilaian yang patut diwaspadai, ditakuti atas penilaian, dan tanggapannya atau kritikannya terhadap kinerja guru selama ini. Itulah anggapan dan pemikiran saya sebelum mendapat kesempatan belajar materi ini.

Tapi saat ini, ketika mendapat kesempatan belajar apalagi berdiskusi dengan fasilitator, Pengajar Praktik, instruktur, bahkan dengan rekan-rekan guru sesama Calon Guru Penggerak (CGP) Angkatan 5 Kab. Lamongan tentang “supervisi akademik dengan model coaching”, ternyata tidak harus menunggu menjadi seorang pemimpin sebuah lembaga pendidikan untuk belajar apa itu supervisi akademik, saat inipun saya bisa mendapatkan kesempatan memperoleh pengetahuan tersebut. Pengetahuan tentang supervisi akademik, tujuan dari supervisi akademik, bagaimana strategi yang dilakukan dalam supervisi agar supervisi tidak menjadi suatu peristiwa yang menakutkan bagi sebagian guru dan bagaimana refleksi setelah dilakukan supervisi akademik. Melalui proses coaching untuk supervisi akademik yang saya pelajari dalam modul ini, membukan mata saya lebar-lebar, bahwa supervisi adalah hal yang menarik, hal yang menyenangkan, dan dapat dijadikan sebagai kiblat bagi saya sebagai guru dan mungkin bagi guru-guru lain, untuk memastikan pembelajaran yang telah dilakukan selama ini sudah berpihak pada murid atau tidak, sebagai tolak ukur bagi kita untuk meningkatkan kompetensi sebagai guru, baik komptensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, maupun kompetensi profesional. 

Menyimak tentang materi coaching untuk supervisi akademik, adakah keterkaitan dengan peran saya sebagai CGP? Tentu keterkaitannya sangat erat sekali. Sebagai seorang guru, saya berperan menuntun murid-murid saya sesuai kodratnya, sebagaimana pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Terkadang berperan sebagai coach bagi mereka, bahkan mungkin tanpa saya sadari sebagai coach bagi rekan-rekan guru lain. dan proses coaching manjadikan aktifitas saya, dalam menuntun murid-murid saya, dalam suasana pembelajaran ataupun suasana kolaborasi bersama teman sejawat menjadi lebih fleksibel, akrab, dan bermakna.

Challenge (Adakah ide, materi, atau pendapat dari narasumber yang berbeda dari praktik yang saya jalankan selama ini?)

Apa itu proses coaching? Berdasarkan definisi dari beberapa ahli, dapat disimpulkan, coaching adalah sebuah proses kolaborasi yang berbentuk kemitraan bersama klien (coachee atau orang yang akan kita bantu) untuk memaksimalkan potensi atau kinerjanya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif. Dari proses coaching itu, coachee akan menemukan sendiri jalan untuk memaksimalkan potensi atau kinerjanya. Bagaimana prosesnya sehingga coache mampu menemukan sendiri jalan untuk memaksimalkan potensinya?

Berdasarkan paparan meteri yang saya dapatkan dari Program Guru Penggerak ini, coaching memiliki tujuan dan prinsip lebih kearah memberdayakan, lebih kepada membantu seseorang untuk belajar dari pada mengajarinya, itulah kenapa coaching berbeda dengan bentuk-bentuk pengembangan diri yang lain seperti mentor, konseling, fasilitasi, atau training. Contoh, dalam mentoring, mentor membagikan pengetahuan, keterampilan, dan pengalamannya untuk membantu mentee mengembangkan dirinya, sedangkan dalam coaching, coach menuntun cochee, menemukan ide baru atau cara untuk mengatasi tantangan yang dihadapi atau mencapai tujuan yang dikehendaki. Perhatikan kata membagikan dalam mentor, dan kata menuntun dalam coach. Artinya coach sekalipun membantu, tapi sifatnya menuntun seseorang melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif sehingga dia menemukan sendiri apa yang harus dilakukannya untuk bangkit dan berjalan menuju perubahan yang dia inginkan. Dan proses coaching sangat sesuai dengan salah satu tujuan pengembangan diri, yaitu agar guru menjadi otonom yang berarti dapat mengarahkan, mengatur, mengawasi, dan memodifikasi diri secara mandiri. Untuk membantu orang lain menjadi, coachee, atau rekan guru untuk mengembangkan kompetensinyanya dan menjadi otonom, maka kita perlu memiliki paradgima berpikir coaching terlebih dahulu. Paradigma tersebut adalah :

Fokus pada coache/rekan yang akan dikembangkan

Bersikap terbuka dan ingin tahu

Memiliki kesadaran diri yang kuat

Mampu melihat peluang baru dan masa depan

Saat fokus pada coachee, kita sebagai coach, fokus pada topik yang dibawakan, apa yang perlu dilakukan atau dikuasai untuk mencapai tujuan tersebut, sehingga melalui percakapan kreatif dan bermakna dapat membawa kemajuan pada mereka. Seorang coach juga harus bersikap terbuka berusaha tidak menghakimi, melabel, berasumsi, atau menganalisis pemikiran orang lain. Tetap menunjukkan rasa ingin tahu yang besar terhadap keinginan dan ide-ide dari coachee. Dalam proses coaching itu, agar coach mampu menangkap perubahan yang terjadi selama emosi yang timbul  dan mempengaruhi percakapan, maka coach perlu memiliki kesadaran diri yang kuat. Dan yang terpenting dalam coaching ini adalah, bagaimana seorang coach mampu melihat peluang baru dan masa depan karena coach mendorong seseorang untuk fokus pada solusi.

Dari beberapa paradigma diatas, ternyata berbeda dengan paradigma  dan perilaku saya sebagai guru selama ini. Jika dikaitkan dengan hasil proses pembelajaran yang kurang maksimal, bisa dikatakan saya sebagai guru kurang fokus. Baik terhadap kebutuhan belajar murid-murid saya maupun terhadap strategi pembelajaran yang saya lakukan. Kesibukan-kesibukan yang sering menyita waktu saya, adalah salah satu faktor saya selama ini ternyata kurang bersikap terbuka terhadap murid. Terkadang memberi mereka label sesuai perilaku yang lebih mendominasi siswa-siswa saya, sering terbawa emosi saat berhadapan dengan perilaku murid yang kurang sesuai dengan tata tertib sekolah atau etika berprilaku, dan kurang menunjukkan rasa ingin tahu terhadap kebutuhan belajar, kebutuhan dasar, perkembangan, atau perubahan perilaku murid-murid saya. 

Concept ( Menceritakan konsep-konsep utama yang saya pelajari dan menurut saya penting untuk terus dibawa selama menjadi Calon Guru Penggerak atau bahkan setelah menjadi Guru Penggerak?)

Setelah membaca tentang konsep caoching secara singkat ternyata ditemukan beberap hal yang sangat meanrik untuk direnungkan dan dilaksanakan. Bukan karena ini adalah materi yang baru kita kenal, bukan pula karena coaching berbeda deng bentuk-bentuk  pengembangan diri lainnya, tapi karena dalam proses coaching, coach hanya menuntun, tidak adak paksaan, tidak pula mengajari, apalagi menggurui atau menyuruh. Tapi bagaimana coachee menemukan  sendiri solusi dan jalan menuju peningkatan kompetensi dirinya atau solusi dari keinginannya melalui proses menggali ide-ide kreatif dalam diri coachee. Dan yang sangat menarik dalam coaching adalah istilah kemitraan.

International Coaching Federation (ICF) mendefinisikan coaching sebagai kemitraan dengan klien dalam suatu proses kreatif dan mengugah pikiran untuk mengisnpirasi klien agar dapat memaksimalkan potensi pribadi atau proffesional coachee. Prinsip coaching yang dikembangkan dari tiga kata/frasa kunci pada definisi coaching yaitu "kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi" dan ketiga frasa kunci ini penting untuk selalu kita bawa selama menjadi CGP bahkan selama kita berprofesi sebagai seorang guru atau saat memposisikan diri sebagai coach, sebagai agen atau pemimpin perubahan,  Jadi dengan ketiga frasa kunci itu, dapat dijadikan sebagai prinsip ketika melakukan coaching bahkan kolaborasi, interaksi, komunikasi baik dengan sesama rekan guru maupun murid dalam rangka memberdayakan orang yang sedang kita ajak berinteraksi dengan tujuan membantu orang lain mengembangkan dan meningkatkan kompetensinya menuju perubahan kearah yang lebih baik

Selain prinsip coaching, ada lagi hal penting yang perlu selalu kita bawa selama kita menjadi CGP dan menempatkan diri sebagai coach, yaitu kita perlu terus  meningkatkan 3 kompetensi inti coaching. Apa saja ketiga kompetensi inti itu? Yang pertama, kehadiran penuh atau kemampuan untuk hadir sepenuhnya (jiwa dan raga) saat berhadapan dengan coachee, sehingga  badan, hati, dan pikiran selaras saat melakukan percakapan dengan coachee. Yang kedua yaitu  mendengarkan aktif atau menyimak, dan yang terakhir yaitu kemampuan untuk mengajukan pertanyaan berbobot. Tujuannya adalah untuk menggugah orang untuk berpikir dan dapat menstimulus pemikiran coachee, memunculkan hal-hal baru yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya dan yang dapat mengungkapkan coachee untuk membuat sebuah aksi bagi pengembangan diri dan komptensinya. Dalam coaching, proses menuntun yang dilakukan coach salah satunya melalui sebuah percakapan bermakna. Untuk itu dibutuhkan kemampuan seorang coach.  Kemampuan untuk dapat menavigasi tujuan dan arah Percakapan yang dibutuhkan coachee dan kemampuan untuk menciptakan alur percakapan, sehingga proses percakapan coaching menjadi efektif dan bermakna. Dalam kemampuan menentukan tujuan dan arah percakapan, seorang coach harus bisa menentukan apakah percakapan untuk perencanaan, apakah untuk pemecahan masalah, apakah untuk berefleksi, ataukan percakapan untuk kalibrasi, atau bahkan dalam sebuah percakapan mencakup keempat tujuan percakapan tersebut. Dan terkait dengan kemampuan menciptakan alur percakapan yang efektif dan bermakna, maka dalam materi coaching yang saya pelajari yaitu alur TIRTA. 

TIRTA kepanjangan dari : T yaitu Tujuan. Artinya antara coach dan coachee perlu menentukan tujuan pembicaraan yang akan berlangsung dan idealnya tujuan ini datang dari coachee. Huruf yang kedua dari kata TIRTA yaitu I. I merupakan kepanjangan dari identifikasi. Artinya coach perlu melakukan penggalian dan pemetaan situasi yang sedang dibicarakan, dan menghubungkan dengan fakta yang ada pada saat sesi percakapan. Misalnya coach bertanya kepada coachee "apa kekuatan Bapak/Ibu/saudara dalam mencapai tujuan tersebut?". Huruf ketiga dari kata TIRTA adalah R, yang merupakan kepanjangan dari Rencana aksi, artinya alternatif solusi untuk rencana yang akan dibuat. Misalnya "Apa ukuran keberhasilan rencana aksi Bapak/Ibu?". Dan huruf terakhir dari kata TIRTA adalah TA yaitu kepanjangan dari TAnggung jawab yang artinya bagaimana seorang coach mampu menuntun coachee membuat komitmen atas hasil yang dicapai dan untuk langkah selanjutnya

Dari beberapa konsep-konsep utama tentang coaching, dapat disimpulkan bahwa dengan proses caoching terutama dalam supervisi akademik, akan membantu murid-murid kita atau rekan guru menemukan potensi dirinya, menuntun mereka menjadi lebih mampu mengembangkan dan meningkatkan komptensinya secara sadar, secara mandiri, dan penuh motivasi bukan karena paksaan atau sesuai suruhan atau perintah dari kita sebagai mitra yang membantunya mengembangkan diri.

Change (Apa perubahan dalam diri Anda yang ingin Anda lakukan setelah mendapatkan materi pada hari ini? )

Setelah mempelajari materi coaching ini, ternyata mampu meluruskan paradigma saya tentang bagaimana kita harusnya memandang dan memperlakukan murid dan orang lain saat kita memposisikan diri sebagai coach, bagaimana seharusnya menempatkan diri dalam proses menuntun murid atau membantu rekan-rekan kita atau orang lain. Dan lebih khusus lagi, bagaimana sebuah supervisi dapat berubah dari suasana menakutkan menjadi menyenangkan, dari sebuah penilaian kinerja menjadi sebuah sharing dan diskusi pengalaman dalam melakukan pembelajaran yang berpihak pada murid, dan pada akhirnya menjadi sebuah refleksi bermakna yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur atau pijakan bagi guru dalam melakukan pengembangan kinerja.

Share:

PEMBELAJARAN KOMPETENSI SOSIAL DAN EMOSIONAL (KSE) -- KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 2.2

Pembelajaran Sosial Emosional adalah proses belajar seumur hidup untuk lebih memahami diri kita sendiri, terhubung dengan orang lain, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan dan mendukung komunitas. Pembelajaran sosial dan emosional akan lebih berhasil bila dilaksanakan secara kolaboratif oleh semua pemangku kepentingan sekolah.


Tujuan Pembelajaran Kompetensi Sosial Emosional (KSE) adalah:

  1. Memberikan pemahaman, penghayatan dan kemampuan untuk mengelola emosi. 
  2. Menetapkan dan mencapai tujuan positif. 
  3. Merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain. 
  4. Membangun dan mempertahankan hubungan yang positif. 
  5. Membuat keputusan yang bertanggung jawab.

Ruang Lingkup Pembelajaran Kompetensi Sosial Emosional (KSE) antara lain:

  • Rutin artinya diluar waktu belajar akademik, misalnya : kegiatan ekstrakurikuler, perayaan hari besar, pelatihan dsb. 
  • Terintegrasi dalam pembelajaran artinya membuat diskusi kasus atau kerja kelompok dalam sebuah topik mata pelajaran. 
  • Protokol/ Budaya Sekolah artinya aturan sekolah yang sudah menjadi kesepakatan bersama dan diterapkan secara mandiri oleh murid atau sebagai kebijakan sekolah untuk merespon situasi pada kejadian tertentu.

Dampak dari keberhasilan dalam penerapan KSE (Kompetensi Sosial Emosional) tersebut tidak hanya pada kesuksesan diri seseorang dalam akademik yang lebih baik namun juga memberikan fondasi yang kuat bagi seseorang untuk dapat sukses dalam berbagai area kehidupan mereka di luar akademik. Pembelajaran sosial emosional dapat dilatih dan ditumbuhkan di luar pembelajaran, terintegrasi dalam pembelajaran, menjadi budaya atau tata tertib sekolah dengan berbagai kompetensi dan teknik, sehingga dapat menciptakan Well Being Ekosistem Pendidikan yang nyaman dan sehat.

Keterkaitan materi pembelajaran sosial emosional dengan modul sebelumnya

Melalui pembelajaran Kompetensi Sosial Emosional (KSE), salah satu peran guru sebagai pendidik adalah menciptakan Ekosistem Pendidikan di sekolah sehingga kondisi menjadi aman, nyaman dan menyenangkan bagi murid. Hal ini sejalan dengan Filosofi Ki Hadjar Dewantara bahwa sekolah merupakan taman bagi murid, taman untuk mengembangkan bakat dan minat murid sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zamannya.

Seorang guru penggerak yang memiliki nilai kemandirian, reflektif, kolaboratif, inovatif, serta berpihak pada murid harus menggunakan segala kekuatan dan potensi yang ada untuk membangun budaya positif di sekolah. Budaya positif yang dikembangkan hendaknya dapat mendorong pemenuhan kebutuhan belajar murid sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Seorang guru harus mampu menggunakan segala daya dan potensi yang yang dimiliki untuk mengembangkan budaya positif di sekolah. Budaya positif yang dapat dilakukan di sekolah untuk menerapkan latihan Berkesadaran Penuh (mindfulness) sambil mengembangkan kompetensi Kesadaran Diri (Self Awareness) adalah dengan mengenali emosi. Hal ini dapat membantu guru dan murid merespon terhadap kondisinya sendiri.

Jika pembelajaran Kompetensi Sosial Emosional (KSE) dengan pendekatan berkesadaran penuh (mindfulness) menjadi budaya positif di sekolah maka pembelajaran berdiferensiasi lebih mudah diterapkan. Hal ini tentunya akan membahagiakan murid karena pembelajaran yang disajikan sesuai dengan kebutuhan belajar, baik melalui pendekatan kesiapan belajar, minat, dan profil murid.

Pendekatan kesadaran penuh (mindfulness) menggunakan teknik STOP dapat dijadikan sebagai metode yang dapat menciptakan ekosistem pendidikan yang baik. Murid yang memiliki Well Being yang optimal memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk mencapai prestasi akademik yang tinggi, kesehatan fisik, dan mental yang lebih baik, memiliki ketangguhan dalam menghadapi stres dan terlibat aktif dalam perilaku sosial yang lebih bertanggung jawab. Dengan demikian, pembelajaran diferensiasi melalui pembelajaran Kompetensi Sosial dan Emosional (KSE) dapat membentuk murid yang memiliki profil pelajar Pancasila.


Share:

ARTIKEL AKSI NYATA MODUL 1.4 : MENANAMKAN BUDAYA POSITIF DI SEKOLAH

Budaya Positif di sekolah sangat penting untuk membentuk murid  yang memiliki karakter kuat demi terwujudnya profil pelajar pancasila yang dicetuskan sebagai pedoman untuk pendidikan di Indonesia. Untuk membangun budaya positif, sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif, aman, dan nyaman agar peserta didik mampu berfikir, bertindak, dan mencipta secara merdeka, mandiri, dan bertanggungjawab.

Fakta yang terjadi bahwa kesadaran akan penerapan disiplin diri murid belum berdasarkan motivasi internal, posisi kontrol gurupun belum sampai pada tahap manajer melainkan sebagai penghukum dan pembuat murid merasa bersalah Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan murid yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi internal. Murid yang memiliki disiplin diri berarti mampu bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya.

Dalam membangun budaya positif, kita meninjau lebih mendalam tentang strategi yang menumbuhkan lingkungan yang positif di sekolah untuk mendukung pembelajan yang bermakna. Dengan cara melakukan berbagai upaya dan refleksi serta menerapkan tawaran strategi dalam praktik disiplin, kesungguhan mengontrol murid, menjalankan dalam menerapkan budaya positif. adanya konsep budaya positif akan sangat bermanfaat untuk diterapkan dalam lembaga pendidikan dalam rangka mewujudkan merdeka belajar. Budaya positif meliputi 6 hal yaitu perubahan paradigma stimulus respon, konsep disiplin positif, keyakinan kelas, pemenuhan lima kebutuhan dasar manusia, lima posisi control, dan segitiga restitusi.

Penanaman Konsep untuk Mengubah Paradigma

Budaya positif akan menghasilkan pembelajaran yang bermakna apabila setiap komponen konsep dilaksanakan dan disesuaikan dengan kondisi, karena pendidik akan memperhatikan beberapa hal berikut terkait dengan konsep budaya positif yaitu:

1. Perubahan Paradigma Stimulus Respon

Untuk membangun budaya yang positif, sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif, aman, dan nyaman agar murid-murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri, dan bertanggung jawab.

2. Konsep Disiplin Positif

Disiplin positif berarti disiplin yang bermula dari dalam diri, bukan karena takut dihukum atau mengharap imbalan. Seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal.

3. Keyakinan Kelas

Keyakinan kelas dibentuk berisi peraturan-peraturan yang bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan pada umumnya, yang lebih rinci dan konkrit. Rincian keyakinan kelas dapat dilakukan dengan prinsip berikut: 

  • Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal, 
  • Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif,   
  • Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas,
  • Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan,
  • Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas dengan berpendapat. dan bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.

4. Pemenuhan Lima Kebutuhan Dasar Manusia

Setiap tindakan atau perilaku yang dilakukan di dalam kelas dapat menentukan terciptanya sebuah lingkungan positif. Perilaku warga kelas tersebut menjadi sebuah kebiasaan, yang akhirnya membentuk sebuah budaya positif. Untuk terbentuknya budaya positif pertama-tama perlu diciptakan dan disepakati keyakinan-keyakinan atau prinsip-prinsip dasar bersama di antara para warga kelas. Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), cinta dan kasih sayang (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan kekuasaan (power). Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka.

5. Lima Posisi Contol

Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Orang Merasa Bersalah, Teman, Monitor (Pemantau) dan Manajer.

6. Segitiga Restitusi

Segitiga restitusi dapat menstabilkan Identitas (Kita semua akan melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan),  Validasi Tindakan yang Salah (Semua perilaku memiliki alasan) Menanyakan Keyakinan (Kita semua memiliki motivasi internal).

Kolaborasi

Disiplin diri bukan lagi diartikan hukuman, akan tetapi lebih pada proses belajar, Melihat perilaku perilaku peserta didik dalam rangka memenuhi kebutuhan dasarnya, Menghargai Setiap perilaku peserta didik  memiliki tujuan, mewujudkan merdeka belajar  dengan menyusun keyakinan kelas dibentuk bersama, disepakati bersama dan untuk ditaati bersama dan lebih memahami bahwa Sumber Alasan perilaku manusia adalah untuk menghindari ketidak nyamanan, untuk mendapat imbalan/ penghargaan dan menjadi orang yang diinginkan sesuai nilai yang mereka percaya.

Konsep budaya positif harusnya benar-benar tertanam kepada seluruh Pendidik dan Tenaga Pendidikan (PTK) yang ada di sekolah, sehingga benar-benar diterapkan mulai dari lingkup terkecil yakni kelas yang nanti dampaknya bisa membentuk budaya positif di sekolah. Mari kuatkan diri, mari tergerak dan bergerak bersama agar budaya positif di sekolah benar-benar terwujud.

Share:

JURNAL REFLEKSI DWI MINGGUAN MODUL 2.1 : PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN MURID

Tiap akhir modul, Calon Guru Penggerak diharuskan membuat Jurnal Refleksi, Jurnal Refleksi Dwi Mingguan ini dibuat sebagai bahan evaluasi dan refleksi CGP. Jurnal Refleksi Dwi Mingguan Modul 2.1 membahas tentang pembelajaran berdiferensiasi. Kali ini model refleksi yang saya gunakan adalah model 4F (Facts, Feelings, Findings, Future)


1. Facts (Peristiwa)

Sebelum memasuki modul 2.1, saya diharuskan mengerjakan tes awal modul 2, setelah itu dilanjutkan untuk mengeksplore LMS dengan alur MERDEKA (Mulai Dari Diri, Eksplorasi Konsep, Ruang Kolaborasi, Elaborasi, Koneksi Antar Materi dan Aksi Nyata). 

Mulai dari diri diawali dengan membuat refleksi individu dengan pertanyaan pemantik yang sudah ada di LMS. Saya menjawab pertanyaan pemantik dengan mendeskripsikan apa yang saya ketahui sebagai bekal awal dalam mengeksplore modul 2.1. Selanjutnya pada alur eksplorasi konsep saya harus mempelajari satu per satu teori terkait dengan kebutuhan belajar murid untuk pembelajaran berdifiensiasi. Eksplorasi konsep dibuka dengan kutipan kata mutiara dari KHD “Serupa seperti para pengukir yang memiliki pengetahuan mendalam tentang keadaan kayu, jenis-jenisnya, keindahan ukiran, dan cara-cara mengukirnya. Seperti itulah seorang guru seharusnya memiliki pengetahuan mendalam tentang seni mendidik, Bedanya, Guru mengukir manusia yang memiliki hidup lahir dan batin.” (Ki Hajar Dewantara). Selain memelajari konsep yang ada, saya juga melakukan diskusi dalam LMS dengan kawan-kawan peserta PGP hebat lainnya dalam bimbingan fasilitator Ibu Dewi Mulyani, M.Pd dan Pengajar Praktik Bapak Farid Susanto, S.Pd. Pengetahuan saya tentang pembelajaran berdiferensiasi makin mendalam saat masuk alur Eksplorasi konsep ini. Dilanjutkan dengan melakukan diskusi mendalam dan menganalisa kasus yang sudah disediakan dalam alur ruang kolaborasi. Diskusi berjalan dengan nyaman karena ibu Fasilitator membagi kelompok dengan sangat epic, kelompok dibagi oleh Ibu Fasilitator sesuai dengan jenjang dan analisis kasus yang diberikan juga sesuai dengan jenjang mengajar, sehingga saat membahas kasus tersebut saya terasa mengalami sendiri bukan kasus orang lain. Dalam sesi presentasipun berjalan dengan luar biasa, masukan dari rekan-rekan yang lain membuka cakrawala baru saya bahwa sejatinya pembelajaran di SMK tidak begitu-begitu saja, tetapi apa yang dilakukan di SD, SMP bahkan TK pun bisa diimplementasikan untuk pembelajaran SMK. Pemahaman saya lebih mendalam lagi ketika memasuki alur eksplorasi konsep, Elaborasi dan Koneksi antar materi. 

2. Feelings (Perasaan)

Saya sangat bahagia dan antusias serta lebih bersemangat dalam mengikuti alur MERDEKA pada modul 2. Pada modul 2.1 saya mulai paham bahwa murid harus difasilitasi sesuai dengan kebutuhan belajarnya, pada modul ini juga saya mulai paham bagaimana pembelajaran berdiferensiasi, bagaimana seorang guru menyusun RPP berdiferensiasi. Pengetahuan baru yang saya peroleh dari modul 2.1 ini memompa semangat saya untuk jadi lebih baik dalam mengimplementasikan pembelajaran yang berpihak pada murid.

3. Findings (Pembelajaran)

Pengetahuan dan pengalaman baru yang saya terima sebagai calon guru penggerak pemimpin pembelajaran. Salah satu aplikasi nyata da;am pembelajaran yang berpihak pada murid adalah melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan penilaian (Evaluasi). Pembelajaran berdiferensiasi merupakan pembelajaran yang paling tepat dalam mengakomodir kebutuhan murid yang berbeda-beda, sehingga murid bisa terfasilitasi sesuai dengan kodrat alam dan zamannya sebagaimana amanat filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara. 

4. Future (Penerapan)

Setelah mempelajari modul 2.1, saya berusaha untuk lebih memahami kebutuhan belajar murid untuk memilih aktivitas belajar sesuai dengan gaya belajar yang dimiliki, sehingga pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan murid lebih bisa menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Selain itu, Saya coba untuk sharing kepada rekan sejawat tentang pembelajaran berdiferensiasi dengan harapan kami semua menjadi lebih memperhatikan minat dan profil belajar murid dalam melaksanakan aktivitas pembelajaran.


Share:

MEMENUHI KEBUTUHAN BELAJAR MURID MELALUI PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI

Modul 2.1.a.8 Koneksi Antar Materi

Pembelajaran Berdiferensiasi merupakan serangkaian keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid.

Langkah-langkah pembelajaran berdiferensiasi adalah sebagai berikut:

Merumuskan tujuan pembelajaran

Memetakan kebutuhan belajar berdasarkan kesiapan belajar, minat, dan profil murid.

Menciptakan suasana belajar yang kolaboratif dan positif

Melakukan penilaian yang berkelanjutan / on going assessment

Melakukan diferensiasi pembelajaran berdasarkan konten, produk, dan proses

Pembelajaran berdiferensiasi dapat memenuhi kebutuhan belajar murid dan membantu mencapai hasil belajar yang optimal dikarenakan pembelajaran berdiferensiasi berpihak pada murid, menciptakan lingkungan belajar yang positif, kolaboratif dan saling menghargai, serta adanya strategi pembelajaran didasari oleh kebutuhan murid meliputi kesiapan belajar, minat, dan profil belajar murid. 

Dalam melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi ada tiga strategi yang harus dilakukan, yaitu:

1. Diferensiasi Konten

Adalah mendiferensiasikan materi pembelajaran kepada murid berdasarkan kebutuhan, dilihat dari kesiapan belajar murid secara konkret – abstrak, minat belajar murid dengan mempersiapkan topik atau materi sesuai minat siswa, profil belajar siswa sesuai gaya belajar, audio, visual, atau kinestetik.

2. Diferensiasi Proses

Adalah usaha untuk membantu murid memahami materi pembelajaran dengan memberi beberapa kegiatan atau scaffolding sesuai dengan kebutuhan murid.

3. Diferensiasi Produk

Produk berupa tagihan atau hasil yang diharapkan dari murid setelah proses pembelajaran, baik berupa hasil tes, presentasi atau diskusi, pertunjukkan, pidato, diagram dan lainnya yang mencerminkan pemahaman murid dari tujuan yang diharapkan dalam pembelajaran.

Dalam pembelajaran berdiferensiasi, seorang guru terlebih dahulu harus mengidentifikasi kebutuhan murid yaitu dari kesiapan belajar murid, minat belajar murid dan profil belajar murid. 

Kesiapan belajar murid atau readiness adalah kapasitas untuk mempelajari materi baru diibaratkan seperti “The Equalizer” dari yang bersifat mendasar menuju bersifat transformatif, konkret ke abstrak, sederhana ke kompleks, terstruktur ke terbuka (open-ended), tergantung ke mandiri, dan lambat menjadi cepat.

Sedangkan dalam minat belajar maka terdapat “Cocokkan” yaitu mencari kecocokan antara minat murid dengan tujuan pembelajaran, “Koneksikan” berarti menunjukkan koneksi antar materi pembelajaran, “Jembatani” yaitu menjembatani pengetahuan awal dengan pengetahuan baru, dan “Memotivasi” yang memungkinkan tumbuhnya motivasi murid untuk belajar.

Dalam profil belajar murid maka perlu mengidentifikasi lingkungan belajar, misalnya terkait dengan suhu ruangan, tingkat kebisingan, jumlah cahaya, kemudian pengaruh budaya dari santai menjadi terstruktur, pendiam ke ekspresif, personal ke impersonal, gaya belajar murid juga dengan mengidentifikasi yaitu bisa visual (belajar dengan melihat), auditori (belajar dengan mendengarkan), kinestetik ( belajar sambil melakukan), kecerdasan majemuk (multiple intelegences), visual ke spasial, musical bodily kinestetik, logic matematika.

Kaitan antar materi dengan modul sebelumnya yaitu

Pembelajaran berdiferensiasai dapat mewujudkan Merdeka Belajar sesuai dengan filosofi pendidikan KHD. Berdasarkan pemikiran KHD pendidikan adalah menuntun anak sesuai kodrat alam dan zaman dengan berpihak pada anak sesuai perkembangan minat, bakat dan potensi anak. Hal ini berkaitan erat dengan pembelajaran berdiferensiasi yang bertujuan memberikan pembelajaran kepada anak dengan cara memetakan kebutuhan murid sesuai kesiapan belajar, minat belajar, dan profil belajar anak.

Merdeka belajar dapat terwujud apabila guru penggerak memiliki nilai dan menjalankan peran sebagai guru penggerak dalam melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi. Nilai guru penggerak meliputi : mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, berpihak pada murid. Dan peran guru penggerak meliputi menjadi pemimpin pembelajaran, menggerakkan komunitas praktisi, menjadi coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi antar guru, dan mewujudkan kepemimpinan murid.

Untuk menciptakan pembelajaran berdiferensiasi guru penggerak harus mampu berkolaborasi dan mengidentifikasi kekuatan yang dimiliki oleh sekolah sehingga mampu mendukung terwujudnya visi dan mendukung perkembangan murid berdasarkan pemetaan kebutuhan murid.

Budaya positif merupakan perwujudan dari nilai-nilai atau keyakinan universal yang diterapkan di sekolah. Lingkungan belajar yang mendukung diferensiasi dibangun dengan menerapkan budaya positif, diantaranya:

Komunitas belajar setiap orang di dalam kelas akan menyambut dan merasa disambut oleh orang lain.

Setiap orang di dalam kelas saling menghargai

Murid merasa aman, menciptakan murid berani dalam mengemukakan pendapat

Ada harapan bagi pertumbuhan yang ditunjukkan murid. Pertumbuhan setiap murid berbeda-beda walaupun hanya sedikit guru tetap mengapresiasinya.

Guru mengajak murid untuk mencapai kesuksesan, pengalaman belajar mendorong murid lebih cepat, sedikit melampaui apa yang telah dikuasainya, guru memberikan dukungan sehingga murid tidak merasa frustasi tetapi mencapai kesuksesan.

Adanya bentuk keadilan dalam bentuk nyata. Semua murid berhak mendapatkan perlakuan yang sama di dalam kelas.

Guru berkolaborasi dengan murid untuk mencapai pertumbuhan dan kesuksesan bersama, adanya tanggung jawab masing-masing agar pembentukan dan tercipta kelas yang efektif. Guru sebagai pemimpin kelas memiliki peran sangat penting dalam mengembangkan lingkungan belajar yang positif.


Share:

Blogroll

Popular Post

Labels

Followers

Blog Stats

Label List


AD (728x90)

Label Cloud

Popular Posts

Labels Cloud

Recent Posts